Jakarta (Kemenag) --- Kemenag telah menerbitkan Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Pedoman ini tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama (Kemenag) Nomor 5494 Tahun 2019.
Sebelumnya, Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama dan Komnas Perempuan telah menjalin sinergi untuk menggelorakan semangat anti kekerasan seksual, terutama di wilayah Perguruan Tinggi.
Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama Muhammad Ali Ramdhani, mendorong PTKI di seluruh Indonesia, negeri maupun swasta, proaktif dalam mencegah fenomena kekerasan seksual di lingkungan kampus. Menurutnya, objek kekerasan bukan saja mengarah kepada perempuan saja, tetapi menyasar laki-laki sebagai korbannya juga.
"Kementerian Agama menjadikan butir-butir penting dalam moderasi beragama, praktik keagamaan, yang di dalamnya membangun relasi antara laki laki dan perempuan. Banyak kajian yang dilakukan dalam konteks ini, dan masih ada ruang pemikiran yang masih kosong," kata Muhammad Ali Ramdhani, Selasa (18/08), dalam forum tadarus Litapdimas yang digelar Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam.
Dimoderatori Mahrus selaku Kasi Penelitian dan Pengelolaan HAKI, Litapdimas ke-16 ini mengangkat tema mengenai “Saya PTKI, Saya Anti Kekerasan Seksual”. Diskusi webinar ini membahas secara detail bagaimana peran aktif kampus PTKI dalam mencegah fenomena kekerasan seksual pasca terbitnya SK Dirjen.
Ada lima bab dalam SK ini, yaitu: (1) pendahuluan, (2) memahami kekerasan seksual pada perguruan tinggi, (3) kebijakan, prinsip dan standar penanganan korban, (4) mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, dan (5) penguatan kapasitas PTKI.
Sanksi dalam pedoman ini diatur secara berjenjang. Tindak kekerasan seksual akan disidang dalam Dewan Etik untuk selanjutnya dilaporkan ke Menag. Unsur pidana dalam tindakan tersebut, bisa dilaporkan ke ranah hukum. Pihak kampus akan memberikan pendampingan kepada korban.
Kasubdit Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Suwendi, mengatakan tema ini diangkat dalam rangka menegaskan peran Ditjen Pendidikan Islam sebagai lokomotif dan pionir gerakan anti kekerasan seksual di wilayah Perguruan Tinggi.
"Kami dari Subdit terus menggawangi dan mengawal isu ini, termasuk dalam menyusun SOP dan tindak lanjut dari SK Dirjen agar bisa diturunkan ke dalam Peraturan Rektor di masing-masing Perguruan Tinggi kita," ujar Suwendi dalam sambutannya.
Hadir sebagai narasumber, Rektor IAI Tarbiyatut Tholabah Lamongan Alimul Muniroh, mengatakan fenomena kekerasan seksual selama ini sudah biasa terjadi. Ibarat gunung es, kata dia, praktik kekerasan seksual ini terlihat kecil di permukaan, tetapi ada banyak kejadian yang tidak terlihat dan tidak terduga dan jumlahnya sangat besar.
"Fenomena ini tidak hanya terjadi di dunia pendidikan, di luar juga banyak," kritik Alimul Muniroh.
Ia menilai, aturan di kampus tentang kekerasan seksual selama ini masih bersifat formalitas. Menurutnya, sanksi yang ada kurang tegas diberlakukan kepada pelaku kekerasan.
Direktur P2GHA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Witriani mengapresiasi terbitnya SK Dirjen Pendis tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam. Dia melihat SK tersebut bisa dijadikan sebagai landasan yuridis, karena selama ini belum ada aturan yang memadai yang mengatur kasus pelecehan seksual di Perguruan Tinggi.
"Tidak ada perlindungan bagi korban dan sanksi bagi pelaku, belum ada 'rumah' yang memadai jika terjadi pelecehan seksual pada civitas akademika," ucapnya.
Witriani pun mendorong perlunya suasana kampus yang kondusif, aman, nyaman, sehat, dan inklusif. Dia berharap, segera diterbitkan Peraturan Rektor, SOP dan media sosialisasi SK Dirjen.
Hal senada disampaikan Komisioner Komnas Perempuan KH Imam Nahe'i. Dia mendorong agar para civitas akademika dan stakeholder di Perguruan Tinggi saling mendukung untuk menggulirkan kembali wacana RUU Penghapusan Kekerasan Seksual agar segera disahkan.
"Saya ingin mendorong bagaimana tokoh-tokoh yang ada di Perguruan Tinggi ini bisa bersuara nyaring untuk mendesak RUU P-KS, atau yang kini menjadi RUU PUNGKAS, supaya disahkan. Kita ingin Perguruan Tinggi mendorong budaya anti kekerasan seksual di lingkungan kampus, mendorong PTKI untuk semangat memperjuangkan RUU P-KS," imbuhnya.
Hadir sebagai pembahas, Ahmad Zainul Hamdi dari UIN Sunan Ampel Surabaya mengatakan kekerasan seksual terhadap perempuan atau bentuk pelecehan lainnya terjadi karena adanya cara pandang yang tidak adil gender terhadap perempuan. Pelaku yang didominasi laki-laki ini terbiasa memandang perempuan sebagai objek seksualitas dan hanya mengeskploitasi tubuh perempuan saja.
Ahmad Zainul, atau yang akrab disapa Inung, ini menekankan bahwa seorang laki-laki yang baik tentu akan menjaga kesadaran kemanusiaannya. "Mereka tidak akan pernah melecehkan kehormatan seorang perempuan," imbuhnya.
Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam M. Arskal Salim GP mengapresiasi para pihak yang terlibat dalam diskusi Litapdimas. Dia berharap, peserta diskusi dapat menindaklanjuti secara serius keberadaan SK Dirjen Pendis dengan menyusun teknis penanganan kasus kekerasan seksual di kampus agar para korban mendapatkan pemulihan yang maksimal dari pihak kampus.
"Kita sangat membutuhkan segera adanya protokol bagaimana menuangkan aturan SK Dirjen Pendis ini kepada level yang lebih lanjut. Kalau bicara struktur lagi-lagi ini masih lama, maka kita perlu bicara soal teknis seperti membuat hotline untuk dijadikan mediasi bagi korban kasus kekerasan, dan ini harus disosialisasikan," desak Arskal.
"Saya mendukung ini segera dijadikan prioritas, agar kita bisa mengatakan PTKI ini bebas dari sexual harassment, kekerasan seksual," pungkasnya.